Berqurban merupakan
bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika
putra-putra nabi Adam as. diperintahkan berqurban. Maka Allah Swt.
menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah Swt berfirman:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceriterakanlah kepada
mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa" (QS Al-Maa-idah 27).
Qurban lain yang
diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim as., saat
beliau diperintahkan Allah Swt. untuk mengurbankan anaknya, Ismail as..
Disebutkan dalam surat
As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada Allah Swt.
sebagai rasa syukur atas ni’mat kehidupan.
Disyariatkannya qurban
sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah Swt., bentuk ketaatan
kepada-Nya dan rasa syukur atas ni’mat kehidupan yang diberikan Allah
Swt. kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan
berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua
sisi. Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana
memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara
sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur
atas ni’mat Allah Swt. kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan
ni’mat yang dianjurkan dalam Islam: “Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka
hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11). Kedua,
sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah Swt..
Allah menciptakan binatang ternak itu adalah ni’mat yang diperuntukkan
bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt.
Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah Swt. di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:” Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang dihari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah Swt. di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi Saw. bersabda:” Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang dihari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Kata qurban yang kita
fahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan
maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan
diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah.
Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang
disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di
hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang
disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban)
kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut madzhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah Swt. berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ2
Artinya:” Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar 2).
Rasulullah Saw. bersabda:
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain:”
Jika kalian melihat awal bulan Dzulhijjah, dan seseorang diantara kalian
hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)”
(HR Muslim).
Bagi seorang muslim
atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat
dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat
Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak
mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Adapun binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak (Al-An’aam), unta, sapi dan
kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu seperti
burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah Swt
berfirman:” Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak
yang telah direzkikan Allah kepada mereka” (QS Al-Hajj 34). Kambing
untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah Saw. menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah Saw.:
عن جابرٍ بن عبد الله قال: نحرنا مع رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسَلَّم بالحُديبيةِ البدنةَ عن سبعةٍ والبقرةَ عن سبعةٍ
Dari Jabir bin
Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah Saw. di tahun
Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR
Muslim).
Binatang yang akan
diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan tidak boleh
cacat. Rasulullah Saw. bersabda:” Empat macam binatang yang tidak sah
dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit, 3. pincang dan 4. kurus
yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari dan Muslim). Hadits lain:”
Janganlah kamu menyembelih binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah
(telah ganti gigi, kupak). Jika sukar didapati, maka boleh jadz’ah
(berumur 1 tahun lebih) dari domba (HR Muslim). Musinnah adalah jika
pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1
tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan
hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah saw. berqurban dengan dua
domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.
Orang yang berqurban
boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar
Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan
telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah
Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu
bersyukur” (QS Al-Hajj 36). Hadits Rasulullah Saw.:” Jika diantara
kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad). Bahkan
dalam hal pembagian disunnahkan
dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan keluarganya, sepertiga
untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya untuk fakir miskin dan
orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits dari Ibnu Abbas
menerangkan qurban Rasulullah Saw.bersabda: “Sepertiga untuk memberi
makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir
miskin dan sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta” (HR
Abu Musa Al-Asfahani). Tetapi orang yang berkurban karena nadzar,
maka menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i, orang tersebut tidak boleh
makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh memanfaatkannya.
Waktu penyembelihan
hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu Raya ‘Iedul Adha
pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah melaksanakan shalat ‘Iedul Adha bagi
yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Iedul
Adha seperti jama’ah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr. Adapun hari penyembelihan menurut Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi,
Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah tiga
hari, yaitu hari raya Nahr dan dua hari Tasyrik, yang diakhiri dengan
tenggelamnya matahari. Pendapat ini mengambil alasan bahwa Umar ra., Ali
ra. Abu Hurairah ra., Anas ra.,
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra. menghabarkan bahwa hari-hari penyembelihan
adalah tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin
hasil ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah
Saw. (Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan madzhab
Syafi’i dan sebagian madzhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya ‘Idul Adha
dan 3 Hari Tasyrik. Berakhirnya
hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari. Pendapat ini
mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah Saw. :”Semua
hari Tasyrik adalah hari penyembelihan” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para perawinya kuat”. Dengan adanya
hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah pendapat madzhab
Syafi’i.
Berqurban sebagaimana
definisi diatas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga menurut jumhur
ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan memberikan
uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa
ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya
penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir
miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu madzhab Imam Malik, Ahmad dan
lainnya, bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih utama
dari sedekah dengan nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan
membayar harganya akan berdampak pada hilangnya ibadah qurban yang
disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang berqurban, sedangkan
hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain, maka itu
adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan
penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas ra:”
Hadirlah ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni
kalian dari mulai awal darah keluar”.
Ketika seorang muslim
hendak menyembelih hewan qurban, maka bacalah: “Bismillahi Wallahu
Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya), sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw.: “ Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini
qurban dariku dan orang yang belum berqurban dari umatku” (HR Abu Dawud
dan At-Tirmidzi). Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah Saw.
memerintahkan pada Fatimah as. :”Wahai Fatimah, bangkit dan saksikanlah
penyembelihan qurbanmu, karena sesungguhnya Allah mengampunimu setiap
dosa yang dilakukan dari awal tetesan darah qurban, dan katakanlah:”
Sesungguhnya shalatku, ibadah (qurban) ku, hidupku dan matiku lillahi
rabbil ‘alamiin, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku
diperintahkan, dan aku termasuk orang yang paling awal berserah diri” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Qurban dengan cara
patungan, disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari:” Seseorang
di masa Rasulullah Saw. berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan
keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan
melakukan apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Berkata
Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:” Diantara sunnah Rasulullah Saw. bahwa
qurban kambing boleh untuk seorang dan keluarganya walaupun jumlah
mereka banyak sebagaimana hadits Atha bin Yasar dari Abu Ayyub
Al-Anshari. Disebutkan dalam hadits Rasulullah saw.
عن
أبي الأسود السلمي، عن أبيه، عن جده قال: كنت سابع سبعة مع رسول الله
-صلَّى الله عليه وسلَّم- في سفره، فأدركنا الأضحى. فأمرنا رسول الله
-صلَّى الله عليه وسلم-، فجمع كل رجل منا درهما، فاشترينا أضحية بسبعة
دراهم. وقلنا: يا رسول الله، لقد غلينا بها. فقال: (إن أفضل الضحايا
أغلاها، وأسمنها) قال: ثم أمرنا رسول الله -صلَّى الله عليه وسلم-، فأخذ
رجل برِجل، ورجل برِجل، ورجل بيد، ورجل بيد، ورجل بقرن، ورجل بقرن، وذبح
السابع، وكبروا عليها جميعا.
Dari Abul Aswad
As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya, berkata: Saat itu kami bertujuh
bersama Rasulullah saw, dalam suatu safar, dan kami mendapati hari Raya
‘Idul Adha. Maka Rasulullah saw.
memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap orang satu dirham.
Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami berkata:” Wahai
Rasulullah Saw. harganya mahal bagi kami”. Rasulullah Saw. bersabda:”
Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal dan
paling gemuk”. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan pada kami.
Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan Al-Hakim).
Dan berkata Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilamul Muaqi’in setelah mengemukakan hadits tersebut:”
Mereka diposisikan sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih
satu kambing bagi mereka. Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh
karena itu sebagai sebuah pembelajaran dapat saja beberapa orang membeli
seekor kambing kemudian disembelih. Sebagaimana anak-anak
sekolah dengan dikordinir oleh sekolahnya membeli hewan qurban kambing
atau sapi kemudian diqurbankan. Dalam hadits lain diriwayatkan oleh
Ahmad dari Ibnu Abbas, datang pada Rasulullah saw. seorang lelaki dan
berkata:” Saya berkewajiban qurban unta, sedang saya dalam keadaan sulit
dan tidak mampu membelinya”. Maka Rasulullah saw. memerintahkan untuk
membeli tujuh ekor kambing kemudian disembelih”.
Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan hewan qurban seperti, kulit,
daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya manfaat barang
tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati haram,
sesuai dengan hadits:” Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia
tidak berqurban” (HR Hakim dan Baihaqi). Kecuali dihadiahkan kepada
fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan. Menurut madzhab Hanafi
kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnnya disedekahkan. Kemudian uang
tersebut dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan rumah
tangga.
Sesuatu yang dianggap
makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal dari hewan qurban.
Sesuai dengan hadits dari Ali ra.:” Rasulullah Saw. memerintahkanku
untuk menjadi panitia qurban ( unta ) dan membagikan kulit dan
dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi tukang jagal
sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).
Berqurban atas nama
orang yang meninggal jika orang yang meninggal tersebut berwasiat atau
wakaf, maka para ulama sepakat membolehkan. Jika dalam bentuk nadzar,
maka ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi jika tanpa wasiat
dan keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri, maka menurut
jumhur ulama seperti madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya.
Sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw., beliau menyembelih dua
kambing yang pertama untuk dirinya dan yang kedua untuk orang yang
belum berqurban dari umatnya. Orang yang belum berqurban berarti yang
masih hidup dan yang sudah mati. Sedangkan madzhab Syafi’i tidak
membolehkannya. Anehnya, mayoritas umat Islam di Indonesia mengikuti
pendapat jumhur ulama, padahal mereka mengaku pengikut madzhab Syafi’i.
Amal yang terkait
dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat bagian. Pertama,
hadyu kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan diatas; ketiga, aqiqah;
keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang
disembelih di Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji
Tamattu dan Qiran, atau meninggalkan diantara kewajiban atau melakukan
hal-hal yang diharamkan, baik dalam haji atau umrah, atau hanya sekedar
pendekatan diri kepada Allah swt. sebagai ibadah sunnah. Aqiqah adalah
kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran anak pada hari ketujuh
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang lahir lelaki
disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan selain bentuk ibadah diatas, masuk kedalam penyembelihan
biasa untuk dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang
yang melakukan akad nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih
kambing. Seorang yang sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian
menyembelih binatang sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. dll. Jika
terjadi penyembelihan binatang ternak dikaitkan dengan waktu tertentu,
upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka dapat digolongkan pada hal
yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi dibeberapa daerah. Apalagi jika
penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau tuhan selain Allah maka
ini adalah jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.
Sesuatu yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah), qurban
(taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan
dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan
pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan
maupun yang disunnahkan. Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah
berfirman (dalam hadits Qudsi):” Siapa yang memerangi kekasih-Ku,
niscaya aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku
cintai, dengan sesuatu yang aku
wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
yang sunnah, maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka
Aku menjadi pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya
dimana ia melihat, tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia
berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku beri dan jika ia minta
perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban (udhiyah)
adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan
mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak. Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang
sudah ditentukan. Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang
lebih luas yaitu berkorban dengan harta, jiwa, pikiran dan apa
saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana dimana umat Islam di Indonesia
sedang terkena musibah banjir, dan mereka banyak yang menjadi korban.
Maka musibah ini harus menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam. Apakah
musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi Allah Swt. dan menjauhi
ajaran-Nya ? Yang pasti, musibah ini harus lebih mendekatkan umat Islam
kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut untuk memberikan
kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan bantuan kepada
mereka yang terkena musibah. Dan diantara bentuk pendekatan diri kepada
Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban penyembelihan
sapi dan kambing pada hari Raya ‘Iedul Adha dan Hari Tasyrik. Semoga
Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini, dan yang lebih
penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.
Sumber : Syariah Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar